ALTERNATIF KARIR http://alternatifkarir.com

ALTERNATIF KARIR http://alternatifkarir.com
Tinggal KLIK

Selasa, 26 Mei 2009

BISNIS MIMPI atawa MIMPI BISNIS..

Tembang Laskar pelangi yang dilantunkan Nidji, kerap terngiang di telinga. Duniaku mirip potongan syair lagu Nidji;

Mimpi adalah kunci..Untuk kita menaklukkan dunia..

Laskar pelangi.. tak kan terikat waktu..

Jangan berhenti mewarnai..jutaan mimpi di bumi

Menarilah dan terus tertawa, walau dunia tak seindah surga..

Bersyukurlah pada Yang Kuasa..

Ya, aku tak terikat oleh ruang maupun waktu. Terasa menyenangkan. Semuanya berawal dari tetangga sebelah rumah. Dalam setahun terakhir ini mbak Zoel gencar 'menengok' halaman rumah kami di Banjar Wijaya, Tangerang. "Pengin punya apa? Rumah, mobil, atau keliling dunia? Gampang, yang penting harus punya mimpi," tantangnya.

Saya tahu persis, mbak Zoel bukanlah illusionis macam Deddy Courbuzier yang bisa memindahkan benda dalam tempo sekejap. Ia pun tak punya kemampuan telepati ala Rommy Rafael yang dapat mempengaruhi pikiran orang. Satu hal pasti, jika tak mengajar kuliah, mbak Zoel kerap bepergian ke luar negeri; sebuah konsekuensi dari mimpinya.

Perkenalanku dengan beliau termasuk tak begitu lancar. Awalnya sekadar say hallo, menanyakan kabar keluarga, berlanjut ke soal arisan ibu-ibu, hingga pengajian. Bulan-bulan terakhir kemudian, beliau gencar mengajakku ikut bisnisnya. Seperti biasa, aku menjawab dengan senyuman, tak lupa mengangguk mengucapkan terimakasih.

Barangkali selama ini aku terpengaruh ucapan hubby, yang tak pernah bisa dibujuk ikut bisnis MLM. "Jangankan bayar, gratis pun ogah," kata hubby yang awal tahun 2000 diajak tur ke Malaysia oleh sebuah perusahaan MLM. Tur itu sendiri semacam promo dan gratis, tapi tetap saja tak bisa menggoyahkan pendiriannya.

Alasan hubbyku sederhana, ia tak tega mendapat laba dengan donlen yang berjibaku, sementara ia ongkang-ongkang di rumah. Ketika kuceritakan alasan hubbyku itulah, mbak Zoel terdiam sejenak. Entah apa yang berkecamuk dalam hatinya, namun ia tegas memberi garansi; bisnis yang ditekuni dijamin halal. Keseharian mbak Zoel yang santun, dengan jilbabnya, membuatku merasa bersalah. "Astaghfirullah, selama ini aku berprasangka buruk terhadap tetangga yang berniat berbagi rezeki."

Di rumah mbak Zoel itulah, saya dan mba' Anik -istrinya PILOT tetangga sebelahnya lagi .. dibuat terkesima. Mbak Zoel yang saya kenal dalam keseharian, berubah drastis, meyakinkan sebagai enterpreneur. "Di bisnis Oriflame ini, tidak ada kamus, yang berada di posisi atas selalu enak, yang di bawah kerja keras. Tidak ada.!!" paparnya.

Kenapa bisa seperti itu? Begini penjelasannya....
Setiap awal bulan, siapapun dan pada posisi apapun mereka (member baru, manager, director dst), padasetiap awal bulan, poin yang dimiliki akan kembali NOL. Mereka yang belakangan bergabung, selalu punya kesempatan mendapat bonus dan karir. Bahkan sudah banyak leader Oriflame (uplen) dapat dilampaui oleh downline, baik bonus maupun karirnya. Inilah yang membedakan Oriflame dari bisnis MLM pada umumnya. Jika MLM pada umumnya menganut asas piramida (menguntungkan yang di atas), di Oriflame hal tersebut tak berlaku.

Ibaratnya, Oriflame telah membukakan pintu, dan selanjutnya kami yang menentukan kapan berlari mengayunkan seribu langkah ke depan..!!! Dan satu hal lagi yang s'lalu aku tekankan pada para calon donlenku, kami mengendalikan bisnis ini dari rumah. Setiap saat, kami bisa berhubungan melalui laptop dengan partner kerja dari berbagai kota. wuuuiiihhhh..k'bayang serunya.

Di akhir bulan, tinggal menghitung bonus. Kami yakin, berpuluh juta passive income yang didapat para leader, pasti dimulai dari langkah awal. Benar kata Nidji, dunia terasa menyenangkan..

Jumat, 22 Mei 2009

ZONA IKHLAS "Hasan"











ZONA IKHLAS “Hasan” SATPAM di komplek kami...Banjar Wijaya, Tangerang

TIDAK setiap hari kami bisa bertemu Hasan. Adakalanya, ia shift malam, menjaga keamanan sekitar rumah kami di daerah Cipondoh, Tangerang. Aku terkaget mengetahui gajinya sebagai security di bawah angka 1 juta rupiah. Bagaimana Hasan bisa menyiasati hidup untuk keluarganya?

Hasan, berdasarkan cerita hubby yang sering mengajak ngobrol dengannya, tengah dirundung duka. Sang istri baru saja keluar rumah sakit setelah menjalani operasi kanker di perut. “Hasan sih seperti biasanya, bicaranya datar. Hanya kantung di matanya mengesankan ia kurang tidur,” tutur hubby.

Hasan baru tampil ekspresif jika berada di lapangan bola. Tubuh mungilnya meliuk-liuk, suaranya terdengar parau ketika memberi komando teman-temannya untuk menjaga ketat permainan lawan. Hasan dulunya memang menggantungkan cita-cita sebagai pemain bola. Takdir yang menuntutnya bekerja sebagai kuli bangunan, pemotong rumput dan pekerjaan kasar lainnya, hingga profesi sekarang ini, satpam.

Di luar lapangan bola, Hasan tampil kalem, sopan, tak banyak bicara. Permintaan tolong apapun ia kerjakan dengan sepenuh hati. Setiap kali menerima imbalan dari warga yang meminta jasanya, lelaki berusia 35 tahun itu mengucapkan terimakasih berulangkali. Ia tidak pernah mematok ongkos jasanya.

Mungkin dalam istilah penulis Erbe Sentanu, sikap Hasan termasuk dalam zona ikhlas. “Kalu kita berada dalam zona ini, maka frekuensi kita akan selalu bersinggunggan dengan frekuensi Tuhan. Kita akan sering mengalami kejadian-kejadian tak terduga yang sesuai dengan keinginan kita,” ungkap Erbe Sentanu.

Dengan gaji 800 ribu, secara matematis sulit menjelaskan bagaimana Hasan bisa bertahan hidup dengan istri, satu anak, dan seorang adiknya. “Istri yang sering gelisah di pertengahan bulan karena uang sudah habis. Tapi alhamduillah selalu saja ada jalan keluarnya. Saya percaya Allah telah mengatur,” ungkap Hasan.

Aku termangu mendengar cerita tentang satpam itu. Hasan dan zona ikhlasnya, menyadarkanku agar selalu bersyukur. Gaji Hasan sebesar 800 ribu, InsyaAllah akan aku dapatkan setelah 3 bulan bergabung di Oflame.

mmmm...

“Tok..tok..tkk..” pintu diketuk dari luar. Oh..sebundel map dari mBak Zoel, upline yang juga tetangga sebelah rumah. Tulisan paling akhir menarik mataku untuk mengejanya. “GO DIAMOND...!” Ah...terimakasih Allah, terimakasih Hasan, terimaksih mBak Zoel... jalan mendapatkan bonus dari Oriflame terbuka lebar. Tinggal pilih; plesir keluar negeri atau kuda Jepang alias Honda CRV?

Go..Go..Go.... tq Oriflame.

Senin, 18 Mei 2009

Minggu, 17 Mei 2009

Obat Ngorok


Jika kamu salah satu yang mempunyai kebiasaan mendengkur, jangan sedih. Kamu bisa coba resep sederhana berikut ini : siapkan dua ruas kunyit, cuci bersih, memarkan hingga pipih, masukkan ke dalam gelas, beri sedikit air hangat. Tambahkan dua sendok madu, aduk hingga rata, lalu diminum selama seminggu berturut-turut. Cara lainnya adalah latihan olahraga untuk memperkuat otot-otot dan mengurangi berat badan, jangan minum obat penenang, obat tidur maupun anti histamin sebelum tidur, tidur dalam posisi miring, meninggikan bagian kepala dari tempat tidur sekitar 10 senti. Tindakan operasi adalah pilihan terakhir yang dapat dilakukan untuk mengurangi penderita mendengkur dan henti napas saat tidur. (sumber, dokter.cilik.com)



MenCINTA dengan keKERASan...

Sepasang suami isteri bertengkar, ditonton jutaan permisa teve. Hebatnya (atau lebih tepat konyolnya), sang anak yang berusia 7 tahun dihadirkan menyaksikan kedua orang tuanya beradu mulut, adu melotot. Meski niatnya mulia, etiskah tayangan tadi?

Ini bukan sinetron, tapi cenderung ke reality show. “Masihkah Kau Mencintaiku”, ditayangkan pukul 10 malam dari stasiun teve yang berkantor di kebon jeruk, jakarta. Semua nara sumber mengenakan topeng untuk menyamarkan identitas mereka. Di sebelah kanan, duduk berderet keluarga sang suami, berhadapan dengan keluarga dari pihak istri. Persoalannya sederhana, sang suami lupa mengucapkan selamat ulang tahun pada istrinya yang berbuntut permintaan cerai pihak perempuan.
Di sinilah drama dimulai, kedua pihak saling membuka aib. “Sebelas tahun, ia tidak pernah memperhatikanku,” keluh istrinya. “Ia lebih tahu nomor bra sekretarisnya dibandingkan kepunyaan saya!”
Dituding seperti itu, ibu pihak lelaki membalas, “dasar menantu kurang ajar!”
Saya bengong menyaksikan adegan saling memaki. Inikah yang diajarkan para orang tua? Bukankah aib, seperti doa yang senantiasa kita panjatkan, agar tidak terbeber di muka umum? Dan saya nyaris melompat ketika pembawa acara memanggil bocah kecil berusia 7 tahun untuk dihadirkan dalam drama konyol yang terbagi dalam tiga segmen. Bocah itu menyaksikan bagaimana kedua orang tuanya saling memaki. Ya Tuhan…!!! Bocah itu ikut menangisss….
Meski tujuannya mulia, yaitu mencoba menyusun ulang keutuhan rumah tangga, tayangan Rabu (29/4) malam menyisakan sederet pertanyaan. Sudah keringkah ide para pengelola teve sehingga mengabaikan aspek psikologis sang anak. Alpakah mereka terhadap UU No.23 tahun 2004, tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), yang menyebutkan (pasal 7); kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, tidak berdaya dsb.
Saya termangu sendirian, menengok dua anak tertidur pulas di samping saya. Saya tak bernafsu lagi menyelesaikan tayangan tadi, meski pembawa acara meyakinkan acara ini untuk mencari solusi terbaik, dengan menghadirkan sejumlah pakar.

Ohh.. CROCS..anti selip atau anti escalator


Seorang ibu, pelajar SD teman anakku, dengan bangga menunjukkan sepatu warna warni yang baru saja dibeli dengan diskon 50 persen. "Ringan, murah dan yang pasti tidak berbau," katanya berpromosi tentang alas kaki bernama Crocs.

Mengusung tagline anti slip dan tahan air, Crocs memang didesain untuk kegiatan outdoor dan berlayar. Karena bahan bakunya ringan, banyak yang mengenakan CROCS di berbagai tempat, termasuk di pusat perbelanjaan. Namun sejak 2006, media massa melaporkan sejumlah kecelakaan terjepit di escalator, dengan korban sebagian besar anak-anak. Karena sifatnya yang anti slip, alas kaki yang hak patennya dibuat di Colorado itu, terasa seret, apalagi jika menapak pada logam seperti escalator. Di beberapa kasus, penggunanya secara tidak sadar menempelkan kakinya di pinggir escalator. Akibatnya sepatu tersangkut escalator, dan kaki pemakainya pun dibuat terluka (untuk tidak mengatakan terjepit).

Di Pondok Indah Mall sempat terpasang peringatan agar tidak menggunakan sepatu karet di setiap escalator. Meski tidak menyebut nama, gambar yang terpasang adalah Crocs. Di Bandung, pusat perbelanjaan BIP juga memasang peringatan serupa.

Tapi pedulikah masyarakat terhadap kasus itu? Betapa pendek ingatan kita, terlihat dari antrean di Senayan City akhir April lalu. Mereka yang berebut Crocs sudah terlihat di depan mall, sejak jam 8 pagi! Kulitnya putih, dandan rapi, aromanya harum, jelas mereka bukan pekerja mal. Mereka kesengsem karena termakan promo diskon besar-besaran serta nama Crocs. Crocs pun seolah menyihir semua orang. Bim salabim ala kadabra...!!!

Bisakah Mempercayai Pengemis?


Bocah perempuan itu kelas empat SD. Dari kulit wajahnya cukup menegaskan, sebagian waktunya dihabiskan di jalanan. Pukul 6 pagi, ia sudah terlihat di perempatan Tomang, Jakarta Barat mengharap uang recehan pengemudi mobil yang merambat dari arah Kebon Jeruk. Karena hampir setiap hari melintas di Tomang, tahulah bocah itu bernama Ela. Ibunya juga mengemis, yang selalu mengendong anaknya (4 tahun).

Awalnya, sang ibu menanyakan, adakah buku bekas yang masih bisa dibaca Ela.
Esoknya, ia berkeluh kesah, Ela belum membayar uang sekolah selama dua bulan. "Dan kepala Ela gatal-gatal, alergi mungkin," cerita ibu. Dan kisah pilu sejenis selalu terucap setiap kami berjumpa.

Suatu hari kusodorkan kartu nama, dan meminta ibunda Ela untuk bertemu aku di sebuah tempat. Ia datang bersama Ela dan si bungsu. "Kami bertiga naek ojek," aku menangkap pesannya, jika harus mengganti ongkos ojek. Beberapa menit kemudian, berkisahlah sang ibu, yang dulunya pernah berjualan minuman, tapi bangkrut terjaring razia dan alih profesi jadi pengemis. Bapaknya tukang potong rumput, tidak menentu pendapatannya. Aku tak mengobral janji, dan hanya menanyakan berapa penghasilan mengemis Ela dalam sehari. Ibunda Ela menyebut sejumlah angka.. Aku berjanji mengganti uang tersebut setiap bulan asalkan Ela tidak disuruh mengemis. "Ela hanya sekolah saja," pintaku.
"Tuh Ela, dengar nggak? Ela sekolah saja, nggak boleh ke jalan lagi ya," kata sang ibu.
Ela hanya tersenyum, gak mungkin bisa menjawab karena mulutnya masih mengunyah nasi Padang.

Kuserahkan uang pengganti mengemis Ela dalam sebulan plus pengganti naek ojek. Kudekati Ela saat ibunya pergi ke toilet.
"Ela ke sini naek apa."
"Diantar sama bapak," jawaban Ela mulai menggerogoti kepercayaanku.

Keluarga Ela tinggal di sekitar Kalideres, Jakarta. Rumahnya melewati jalan selebar empat meter, namun semakin menyempit di ujung jalan. Saya mengantar hingga ke rumah mereka. Woww..., rumah petak berlantai ubin putih. Di atas meja, terlihat teve, Dvd player dan game watch. "Ini rumah kakak, kami disuruh nempati saja, mana mungkin kami mampu menyewanya," jawab ibunda Ela seolah mengerti arti senyumku. Belakangan, ayah Ela datang mengendarai sepeda motor...!!
Aku buru-buru pamit dan diantar Ela di ujung jalan.

Dua minggu berselang aku tak lagi melihat Ela di jalanan, kecuali ibunya yang tetap membawa si bungsu untuk mengemis. Tapi di seberang jalan, aku seperti menangkap sosok Ela yang mengendap-endap bersembunyi. "Ah, benarkah Ela?"
Esok paginya, pandangan Ela persis tertuju di mataku. Ia mengemis lagi...! Ela berlari, entah takut, entah malu atau apalah, pokoknya menghindar dari kejaran mataku. Kali ini tak tersisa lagi kepercayaan terhadap ibunda Ela. Aku semakin yakin jika adik Ela yang selalu digendong ibunya, di kemudian hari akan menjadi senjata pamungkas menjaring simpati.
Salahkah aku jika berprasangka seperti itu?

Bocah Pengemis & KFC


Jangan kaget, jika teman-teman lewat di perempatan Senayan dan dicegat dua bocah pengemis. Mereka menyebut jumlah nomimal. Dikasih receh, keduanya menggelengkan kepala. "Gak cukup," katanya. Nah lo mau buat beli apa?

Peristiwanya sih sudah terjadi beberapa minggu lalu. Ketika itu ada beberapa mobil dari arah timur (di Jalan Pintu Satu Senayan) yang berhenti karena lampu merah, dekat Plaza Senayan. Dari rimbunan pohon, kedua bocah perempuan cekatan menghampiriku. Wajahnya masih segar, belum terlihat kantuk di wajah mereka, meski jarum jam mendekat ke angka 12 malam. Keduanya, berusia sekitar 9 dan 11 tahun. Aku membuka kaca mobil, dan menyapa basa-basi, "jam segini belum tidur?"

Tidak ada jawaban, kecuali gelengan kepala. Salah seorang memainkan kalung plastik yang dikenakannya. Di seberang jalan, terlihat tubuh seorang wanita rebahan di atas rumput, "itu nyokap kalian? tanyaku.
Keduanya kembali berpandangan, tanpa memberi jawaban. Bahkan yang bertubuh tinggi bersenandung, entah lagu apa, suaranya terdengar fals.
"Bagi duitnya dong...," nada suaranya datar.
"Ya seribu aja," sahut temannya.

"Ah seribu? banyak banget," candaku sambil mencari uang yang terselip di kotak.
"Seribu itu dikittt.." jawab si kecil.
"Memangnya lo mau beli apa?"
"Beli buku. Seribu juga gak cukup buat beli makan," jawab bocah satunya.

"Jadi nggak mau nih," aku menyodorkan uang recehan.
"Gak cukup, buat makan di KFC. Paling cuman aqua doang...!!! ujar si kecil.

Jadi hasil mengemis mereka selama ini dihabiskan di meja di KFC? Kepalaku terasa berdenyut, tentu bukan karena migrain. Ini bukan cara mengemis seperti pada umumnya. Mereka beroperasi menjelang dini hari. Bahkan kalimat pembuka mereka pun terasa janggal, bukan meminta, tapi mirip obrolan dengan teman sebaya, "Bagi duitnya dong..."

Jawaban kedua bocah itu terdengar lancar, hapal di luar kepala. Siapa yang mengajari mereka? Dimana mereka tinggal? Lampu di perempatan berganti ke warna hijau, tanpa sempat lagi mendengar jawaban mereka. Teman-2 punya jawaban lain?

CAME TO ME...

Gak ada lo gak rame...
http://alternatifkarir.com