
Bocah perempuan itu kelas empat SD. Dari kulit wajahnya cukup menegaskan, sebagian waktunya dihabiskan di jalanan. Pukul 6 pagi, ia sudah terlihat di perempatan Tomang, Jakarta Barat mengharap uang recehan pengemudi mobil yang merambat dari arah Kebon Jeruk. Karena hampir setiap hari melintas di Tomang, tahulah bocah itu bernama Ela. Ibunya juga mengemis, yang selalu mengendong anaknya (4 tahun).
Awalnya, sang ibu menanyakan, adakah buku bekas yang masih bisa dibaca Ela.
Esoknya, ia berkeluh kesah, Ela belum membayar uang sekolah selama dua bulan. "Dan kepala Ela gatal-gatal, alergi mungkin," cerita ibu. Dan kisah pilu sejenis selalu terucap setiap kami berjumpa.
Suatu hari kusodorkan kartu nama, dan meminta ibunda Ela untuk bertemu aku di sebuah tempat. Ia datang bersama Ela dan si bungsu. "Kami bertiga naek ojek," aku menangkap pesannya, jika harus mengganti ongkos ojek. Beberapa menit kemudian, berkisahlah sang ibu, yang dulunya pernah berjualan minuman, tapi bangkrut terjaring razia dan alih profesi jadi pengemis. Bapaknya tukang potong rumput, tidak menentu pendapatannya. Aku tak mengobral janji, dan hanya menanyakan berapa penghasilan mengemis Ela dalam sehari. Ibunda Ela menyebut sejumlah angka.. Aku berjanji mengganti uang tersebut setiap bulan asalkan Ela tidak disuruh mengemis. "Ela hanya sekolah saja," pintaku.
"Tuh Ela, dengar nggak? Ela sekolah saja, nggak boleh ke jalan lagi ya," kata sang ibu.
Ela hanya tersenyum, gak mungkin bisa menjawab karena mulutnya masih mengunyah nasi Padang.
Kuserahkan uang pengganti mengemis Ela dalam sebulan plus pengganti naek ojek. Kudekati Ela saat ibunya pergi ke toilet.
"Ela ke sini naek apa."
"Diantar sama bapak," jawaban Ela mulai menggerogoti kepercayaanku.
Keluarga Ela tinggal di sekitar Kalideres, Jakarta. Rumahnya melewati jalan selebar empat meter, namun semakin menyempit di ujung jalan. Saya mengantar hingga ke rumah mereka. Woww..., rumah petak berlantai ubin putih. Di atas meja, terlihat teve, Dvd player dan game watch. "Ini rumah kakak, kami disuruh nempati saja, mana mungkin kami mampu menyewanya," jawab ibunda Ela seolah mengerti arti senyumku. Belakangan, ayah Ela datang mengendarai sepeda motor...!!
Aku buru-buru pamit dan diantar Ela di ujung jalan.
Dua minggu berselang aku tak lagi melihat Ela di jalanan, kecuali ibunya yang tetap membawa si bungsu untuk mengemis. Tapi di seberang jalan, aku seperti menangkap sosok Ela yang mengendap-endap bersembunyi. "Ah, benarkah Ela?"
Esok paginya, pandangan Ela persis tertuju di mataku. Ia mengemis lagi...! Ela berlari, entah takut, entah malu atau apalah, pokoknya menghindar dari kejaran mataku. Kali ini tak tersisa lagi kepercayaan terhadap ibunda Ela. Aku semakin yakin jika adik Ela yang selalu digendong ibunya, di kemudian hari akan menjadi senjata pamungkas menjaring simpati.
Salahkah aku jika berprasangka seperti itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar